BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera di dunia dan akherat. Di
dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia
menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang
seluas-luasnya. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami Islam, misalnya
kita sering melihat cara yang bermacam-macam, antara satu dengan lainnya tidak
saling berjumpa.
Namun, seiring dengan banyaknya ilmu yang membahas tentang agama
Islam jurtru banyak fenomena yang berkembang di masyarakat, itu pun mengacu
pada perkembangan yang agaknya menyimpang dari Islam itu sendiri. Dihadapkan
fenomena ini, kami mencoba untuk mengulas kajian agama secara lebih
konfrehensif. Namun, hal ini tentunya membutuhkan metodologi yang sesuai dengan
gejala-gejala agama yang berkembang di mayarakat dari sudut pandang yang
berbeda.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
definisi agama dan ilmu?
2.
Bagaimana
Islam sebagai sebuah agama?
3.
Bagaimana
Islam sebagai sebuah kajian ilmiah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
definisi Agama dan Ilmu.
2.
Memahami
Islam sebagai sebuah agama.
3.
Memahami
Islam sebagai sebuah kajian ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Agama dan Ilmu
Agama merupakan sebuah kata yang sangat familiar dengan pendengaran
kita. Istilah agama nampaknya sudah menyatu dan tak terpisahkan dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara universal. Kita sering
menggunakan istilah “agama” dalam kehidupan sehari-hari, seperti: agama Islam,
agama Kristen, kehidupan beragama, toleransi agama, dan sebagainya. Namun,
ketika kita bertanya tentang apa sebenarnya agama itu, atau apa definisi agama
itu, ternyata kita merasa kesulitan, dengan kata lain kita tidak bisa mendapatkan
definisi yang pas dan bisa diterima oleh orang lain.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. H. A. Mukti Ali,
“barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi
selain dari kata agama”. Pernyataan ini didasarkan pada tiga argumentasi. Pertama,
bahwa pengalaman agama adalah soal batini, subyektif dan sangat
individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu
bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama, karena itu membahas
arrti agama itu selalu ada emosi yang kuat sekali, sehingga sulit memberikan
arti kata agama itu; dan ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh
tujuan dari orang yang memberi definisi tersebut.[1]
Dengan demikian terdapat banyak sekali definisi-definisi yang
pernah dibuat orang tentang agama. Karena setiap orang yang mendefinisikan
agama memiliki cara yang berbeda dalam memahami agama. Dan juga, hal ini dikarenakan
pengalaman beragama adalah subyektif, intern, dan individual, dimana seseorang
akan merasakan pengalaman yang berbeda dengan orang lain. Pemaparan diatas
sengaja kami kemukakan terlebih dahulu agar sejak awal kita tidak memiliki
anggapan bahwa pengertian yang diberikan seorang ahli lebih baik dari pada pengertian
yang lain.
Secara umum agama memang menyangkut hubungan manusia dengan sesuatu
yang mutlak dan ghaib, sedangkan kemampuan berfikir manusia terbatas. Di sisi
lain agama juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan masyarakat,
yang kemudian menjelama menjadi gejala-gejala yang bervariasi yang terdapat
dalam masyarakat itu sendiri.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a yang
berarti tidak, dan gama yang berarti kacau, pergi, kocar-kacir. Jadi,
kata agama dapat diartikan ttidak pergi, tidak kacau, dan/atau teratur.
Definisi ini mengindikasikan bahwa agama merupakan kepercayaan yang menjadikan
kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan
keselamatan bagi manusia.[2]
Ada juga yang berpendapat bahwa agama berasal dari kata gam yang berarti
pergi, tetapi kemudia mendapatkan awalan dan akhiran a. Setelah mendapat
awlan dan akhiran a menjadi agama, artinya menjadi: jalan. Yang
dimaksud jalan disini adalah jalan hidup.
Dengan demikian pengertian etimologis dari kata agama mengandung
arti yang bersifat mendasar yang dimiliki oleh berbagai agama, yaitu bahwa
agama adalah jalan, jalan hidup; atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia
dalam kehidupannya di dunia ini; jalan yang mendatangkan kesejahteraan dalam
kehidupan yang teratur, aman, tentram, sebagaimana makna umum yang ada pada
berbagai agama.
Di sisi lain ada beberapa istilah lain dari agama yaitu religi
dan ad-dien. Religi berasal dari bahasa Latin, yang berasal dari kata relegere
atau relegare. Kata relegere berarti mengumpulkan dan
membaca.[3]
Hal ini sesuai dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara beribadah
kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Sedangkan relegare
berarti mengikat,[4]
hal ini memang sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang mengikat manusia dengan
Tuhannya. Sedangkan ad-dien berasal dari bahasa Arab dari kata dasar دَانَ , yang arti dasarnya adalah “hutang”,
sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa Semit, induk bahasa
Arab, kata دِÙŠْÙ†ُ berarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian kata tersebut
menunjukkan pengertian agama sebagai undang-undang atau hukum yang harus
ditunaikan oleh manusia.
Sedangkan secara terminologisnya agama dapat diartikan sebagai
aturan atau undang-undang hidup yang ditetapkan oleh Tuhan yang mengatur
tatacara pengabdian/ibadah manusia terhadap Tuhannya yang harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab dan tetap sesuai dengan fitrah dan tujuan penciptaan,
yang nantinya akan membawa manusia kepada kehidupan yang teratur dan sejahtera
dunia dan akhirat.
Sedangkan
ilmu menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu,
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan)
itu; atau pengetahuan
atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya.
Kata ilmu (science)
dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti,
atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat
berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui
masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Sedangkan
pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni
tersingkapnya kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadap
sesuatu.
Berbeda
dengan pengetahuan, ilmu
merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada
persyaratan ilmiah sesuatu
dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak
terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Pertaama, Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri
dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun
bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena
masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah
kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut
kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek
penunjang penelitian.
Kedua, Metodis. Metodis
adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos”
yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang
digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Ketiga, Sistematis. Dalam
perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
Keempat, Universal. Kebenaran
yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak
bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal
merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar
ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam
mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat
universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
B.
Islam
sebagai Agama
Islam merupakan nama yang yang memang diberikan Allah swt. kepada
sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tidak seperti agama yang lain,
islam bukanlah nama yang lahir berdasarkan nama pendiri atau pembawanya.
Misalnya agama Budha karena pendirinya adalah Budha Gautama, Kristen karena
tokoh yang mendirikannya adalah Nabi Isa atau Yesus yang bergelar Al-Masih atau
Kristus. Islam juga bukan berdasarkan nama tempat munculnya sebuah agama.
Misalnya agama Hindu yang muncul di India, Hindia atau Hindustan. Islan juga
bukan nama sebuah bangsa dimana sebuah agama lahir. Misalnya agama Yahudi yang
lahir di kalangan bangsa, suku atau dinasti Yehuda atau Yuda. Dan Islam juga
bukan nama tempat lahir pendiri sebuah agama. Misalnya agama Nasrani yang
berdasarkan tempat kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazareth di Palestina.
Sebagai mana firman Allah swt. dalam surat al-Maidah ayat 3.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agamamu”.
Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa Islam merupakan nama
khusus yang diberikan Allah swt. kepada sebuah agama yang dibawa oleh
rasul-Nya. Sebenarnya Islam bukan merupakan agama baru karena Islam merupakan
agama yang juga telah diturunkan kepada Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelumnya.
Dengan demikian, pemakaian nama “Mohammedanisme” untuk menunjukkan agama Islam
sebagaimana banyak ditulis oleh para penulis Barat (Orientalist) bukan hanya
“salah” tetapi juga mengandung “penghinaan”.
Pamakaian nama tersebut diklaim salah karena Muhammad bukanlah
orang yang membuat atau mendirikan agama Islam, tetapi pembuatnya adalah Allah
swt. Muhammad hanyalah sebagai pembawa, penyampai apa yang diajarkan oleh Allah
swt. Dikatakan penghinaan karena Mohammedanism mengandung arti bahwa Islam itu
berpusat pada Muhammad, manusia, bukan Tuhan. Lain halnya dengan pemakaian nama
Kristen untuk agama yang dibawa oleh Isa bin Maryam (Yesus) karena pemeluk
agama Kristen sendiri yang menyatakan keimananya kepada Isa al-Masih sebagai
Tuhan mereka.
Islam secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima
yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai.[5]
Yang selanjutnya diubah bentuk aslama yang berarti berserah diri dalam
kedamaian. Dengan demikian dapat dikatakan hakikat dari agama Islam adalah
berserah diri kepada Tuhan. Hal ini tidak hanya menjadi sebuah ajaran Tuhan
Kepada hambanya, akan tetapi Islam diajarkan sebagai pemenuhan fitrah manusia
yang butuh akan agama. Sehingga pertumbuhannya dan perwujudannya pada manusia
selalu bersifat intern, bukan merupakan paksaan dari luar. Karena seandainya
ada unsur paksaan maka menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan
dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.
Sedangkan Isalam secara terminologis merupakan sebuah agama yang
diwahyukan oleh Allah swt. kepada rasulnya untuk disampaikan kepada masyarakat.
Jadi, dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah wahyu, dan bukan merupakan
sebuah agama yang dibuat oleh Muhammad yang hanya sebagai penyamapai dan
penjelas risalah-risalah Tuhannya. Namun keterlibatannya masih dalam
batas-batas yang dibolehkan Tuhan.[6]
Dilihat dari
segi ajarannya, Islam memiliki dua sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang memuat segala hal yang ada di dunia dan akhirat. Dengan kata
lain Islam merupakan agama yang kompleks. Hal ini dapat dilihat dari luasnya
cakupan ajaran agama Islam, diantaranya adalah dalam bidang agama, ibadah,
akidah, ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial, kehidupan ekonomi, kesehatan,
politik, pekerjaan, disiplin ilmu, dan sebagainya. Maka dengan demikian tidak
cukup apabila kita hanya menelaah atau mengkaji agama –Islam- dengan
menggunakan satu metode pendekatan.
C.
Agama
sebagai Kajian Ilmiah
Ketika seseorang
mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau
dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat
manusiawi dan historis, dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai
sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai hal yang
bersifat normatif-doktriner, sementara yang kedua sebagai gejala budaya dan
sosial. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui
pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari agama.
Penelitian
agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang menempatkan agama sebagai
sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis berarti agama haruslah dijadikan
sebagai suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama itu sesuatu yang
abstrak. Dalam membahas agama -Islam- sebagai objek kajian, akan dibahas
hal-hal sebagai berikut; Agama sebagai wahyu, dan agama sebagai gejala budaya
dan sosial.
a.
Agama
sebagai Wahyu
Agama –Islam- biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wasallama
lisa’adati al-dunya wa al-akhirah (Islama adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat).[7] Jadi, intinya
adalah Islam merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Seperti
yang telah kita ketahui bersama bahwa wahyu terdiri atas dua macam: wahyu yang
berbentuk Al-Qur’an, dan wahyu yang berbentuk hadits, sunnah Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang kompleks. Maksudnya,
Al-Qur’an memuat berbagai macam persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya.
Sehingga untuk memahami, mempelajari, mengerti, mengkaji Al-Qur’an memerlukan
ilmu yang kompleks juga. Hal ini bertujuan agar pemahaman kita terhadap
Al-Qur’an lebih bersifat komprehensif. Hal inilah yang kemudian melahirkan Ulumul
Qur’an.
Dalam studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an
sebagai wahyu, tetapi misalnya mempertanyakan bagaimana membaca Al-Qur’an,
mengapa cara membacanya seperti itu, berapa macam jenis bacaan itu, apa
sesungguhnya yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat, apa maksud ayat itu,
dan lain sebagainya. Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang
merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, yang menjadi
persoalan selanjutnya, jika dahulu dipahami seperti itu, apakah sekarang masih
harus dipahami sama seperti itu atau perlu pemahaman baru?
Dalam ilmu tafsir misalnya, sebuah studi tekstual dan
kontekstual tentang Al-Qur’an. Sekarang sudah ada juga studi hermeneutika
Al-Qur’an. Apa itu hermeneutika Al-Qur’an dan bagaimana penerapannya dalam
Islam? Hal ini memang baru dan mungkin masih belum dikenal oleh para mufassir
terdahulu. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah studi interdisipliner
tentang Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an dengan kekomplekannya tidak
hanya berbicara mengenai teologi, ibadah, norma-norma, tetapi juga berbicara
tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Jadi ilmu-ilmu seperti
sosiologi, botani, dan semacamnya perlu juga dipelajari untuk memahami isi
kandungan Al-Qur’an secara komprehensif.
Islam sebagai wahyu tercermin dalam hadits-hadits Nabi Muhammad
saw. Seperti halnya Al-Qur’an, terdapat berbagai macam persoalan yang ada di
sekitar hadits. Sebagaimana yang terdapat dalam buku hadits pertama, Al-Muwattha’,
hanya memuat sekitar 700 hadits. Sedangkan selanjutnya berjumlah sekitar 4000
hadits yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari, 6000 hadits oleh Imam
Muslim, dan 8500 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan kemudian ada hadits shohih, hadits hasan, hadits
mutawatir, hadits ahad, hadits mashur, dan lain-lain. Inilah yang dapat kita
jadikan kajian. Misalnya lagi Imam Muslim yang tadinya sudah mengumpulkan
sekitar 300.000 hadits, tetapi setelah diseleksi menjadi hanya sekitar 6000
hadits. Mengapa bisa demikian? Untuk menjawabnya kita dapat meneliti rijalul
haditsnya, matan, atau perawi hadits tertentu. Kita juga dapat melihat
buku-buku syarah hadits. Wilayah-wilayah inilah yang bisa kita jadikan kajian.
Tetapi tentunya dalam mengkaji hal yang tidak sederhana ini, kita memerlukan
metodologi studi yang memadai, misalnya dengan studi hemeneutika dan historical
criticism. Dan tidak bisa hanya mencukupkan pada metode teologis-normatif
saja dalam mengkaji agama yang begitu kompleks tersebut.
b.
Agama
sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Agama
dan budaya adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak mungkin dipisahkan.
Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi pengamalan
sebuah agama yang bersangkutan. Sebaliknya sebuah kebudayaan akan sangat
dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana kebudayaan itu berkembang.
Oleh karena itu agama bukan saja menjadi masalah individu tetapi agama juga
merupakan sebuah urusan sosial yang pada akhirnya orang yang beragama tidak
hanya sekedar mampu melahirkan keshalehan individual tetapi juga harus mampu
melahirkan keshalehan sosial.
Semula hanya ada dua ilmu yaitu ilmu kealaman dan ilmu budaya.
Kedua ilmu ini memiliki karakteristik yang berbeda. Ilmu kealaman berangkat
dari tanda-tanda keteraturan yang terjadi di alam raya, suatu penemuan atas
gejala alam pada saat yang lain juga akan menghasilkan hal yang sama (tetap).
Sebagai contoh air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, benda yang
dilempar ke atas akan jatuh ke bawah dan gejala alam lainnya. Apabila suatu
saat dua hal tersebut diteliti lagi maka hasilnya akan cenderung sama karena
adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Sedangkan ilmu budaya mempunyai sifat
tidak berulang tetapi unik.[8]
Seperti contoh perayaan sekaten bagi masyarakat Solo dan Yogyakarta, Grebeg tanggal
10 Dzulhijah bagi masyarakat Demak, Dugderan menjelang ramadhan bagi masyarakat
Semarang, Apeman bagi masyarakat Pekalongan dan lain-lain. Keunikan peringatan
tersebut bukan karena pengulangannya. Ilmu sosial posisinya berada di antara ilmu
kealaman dan ilmu budaya yang berusaha memahami gejala-gejala yang tidak berulang
tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Sehingga dari keobjektivannya ilmu
sosial mengalami problem, yaitu benarkah hasil peneletian sosial itu objektif
dan dapat dites kembali keterulangannya? Untuk menjawab pertnyaan ini terdapat
dua pandangan. Pertama, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu budaya yang
bersifat unik, misalnya penelitian antropologi sosial. Kedua, ilmu
sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat berulang
dan dapat dites kembali. Misalnya pemberian stimulan pada suatu kelompok yang
kemudian akan memberikan sebuah reaksi sebagai sebuah gejala sosial, dan hal
ini dapat terjadi pada kelompok lain dengan stimulan yang sama. Maka ada ilmu
statistik yang mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan baku.
Ada lima bentuk gejala yang harus diperhatikan ketika kita hendak
mempelajari suatu agama. Pertama, scripture, naskah-naskah,suber
ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan
pemuka agama, yakni sikap, peilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti shalat, puasa, haji
perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, gereja,
lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan
tempat para penganut agama berkumpul dan peran, seperti Nahdlatul Ulama,
Muhammadiyah, dan lain-lain.[9]
Maka dengan uraian di atas, dapat kita tangkap bahwa agama dan
pemeluknya merupakan satu kesatuan yang sangat saling memengaruhi satu sama
lain. Di sisi lain manusia tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai makhluk
sosial dan berbudaya. Dengan demikian kita tidak cukup megkaji agama dengan
pendekatan doktriner-normatif saja, tetapi dalam hal ini kita juga perlu
memperhatikan aspek-aspek lainnya. Maka kita dapat menggunakan pendekatan yang
lain seperti pendekatan sosiologis, pendekatan kebudayaan/humaniora, pendekatan
antropologis dan sebagainya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengkajian agama Islam merupakan satu segi dari ilmu Islam atau
studi Islam. Studi Islam adalah pengkajian terhadap ilmu yang diperlukan
seorang muslim dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya. Cakupan studi
Islam yang begitu luas maka penelitian sebuah agama merupakan hal yang perlu
guna mendapatkan keobyektifan dalam memandang sebuah agama. Agama sebagai
gejala budaya dan sosial dapat didekati secara kualitatif dan secara
kuantitatif. Pendekatan kepada sebuah agama akan ditentukan oleh dari sudut
mana agama itu didekati (antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis,
psikologis, sosiologis atau teologis). Agama sebagai subyek penelitian di
dalamnya memiliki tiga kategori yakni agama sebagai doktrin, struktur dan agama
sebagai dinamika masyarakat. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya
masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan
apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis,
empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah
terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti
tertentu yang jumlahnya masih sangat terbatas.
B.
Saran
Dengan
selesainya pembahasan makalah ini dihapkan ada kesadaran ilmiyah seiring dengan
perkembangan zaman dan faham yang kita jumpai disekitar kita. Dan mempunyai
kesadaran akademis dalam menyikapi `dan memecahkan fonomena perbedaan. Kami
yakin dalam pembahasan makalah ini pasti ada pembahasan yang jauh dari
kesempurnaan untuk itu kami minta tema teman khususnya bapak pemegang studi psi
untuk memberi saran maupin kritikan yang dapat membangunkan kami.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdullah,
M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2004.
·
Mu’in,
Abd. Taib Khair. Ilmu Mantiq. Jakarta: Widjaya. 1987.
·
Mudzhar,
M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2004.
·
Mundiri.
Logika. Jakarta: Raja Grafindo. 1994.
·
Nata,
Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo. 1998.
·
Tadjab,
Muhaimin, dan Mujib, Abd. Dimensi-Dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya
Abditama. 1994.
[1]
A. Mukti Ali. Universalitas dan Pembangunan. (Bandung: IKIP Bandung,
1971), hlm. 4.
[2]
Tadjab, Muhaimin, dan Mujib, Abd. Dimensi-Dimensi Studi Islam. (Surabaya:
Karya Abditama 1994) hlm. 37.
[3]
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo 1998).
Hlm. 10.
[4]
Ibid.
[5]
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo 1998).
Hlm. 61.
[6]
Ibid. Hlm. 65.
[7]
M. Atho Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar 2004) cet. VI. Hlm. 19.
[8]
Ibid. Hlm. 12.
[9]
Ibid. Hlm. 14.