Pages

Sunday, June 9, 2013

Islam sebagai Kajian Ilmiah


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera di dunia dan akherat. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Dari segi alat yang digunakan untuk memahami Islam, misalnya kita sering melihat cara yang bermacam-macam, antara satu dengan lainnya tidak saling berjumpa.
Namun, seiring dengan banyaknya ilmu yang membahas tentang agama Islam jurtru banyak fenomena yang berkembang di masyarakat, itu pun mengacu pada perkembangan yang agaknya menyimpang dari Islam itu sendiri. Dihadapkan fenomena ini, kami mencoba untuk mengulas kajian agama secara lebih konfrehensif. Namun, hal ini tentunya membutuhkan metodologi yang sesuai dengan gejala-gejala agama yang berkembang di mayarakat dari sudut pandang yang berbeda.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi agama dan ilmu?
2.      Bagaimana Islam sebagai sebuah agama?
3.      Bagaimana Islam sebagai sebuah kajian ilmiah?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui definisi Agama dan Ilmu.
2.      Memahami Islam sebagai sebuah agama.
3.      Memahami Islam sebagai sebuah kajian ilmiah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Agama dan Ilmu
Agama merupakan sebuah kata yang sangat familiar dengan pendengaran kita. Istilah agama nampaknya sudah menyatu dan tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara universal. Kita sering menggunakan istilah “agama” dalam kehidupan sehari-hari, seperti: agama Islam, agama Kristen, kehidupan beragama, toleransi agama, dan sebagainya. Namun, ketika kita bertanya tentang apa sebenarnya agama itu, atau apa definisi agama itu, ternyata kita merasa kesulitan, dengan kata lain kita tidak bisa mendapatkan definisi yang pas dan bisa diterima oleh orang lain.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. H. A. Mukti Ali, “barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama”. Pernyataan ini didasarkan pada tiga argumentasi. Pertama, bahwa pengalaman agama adalah soal batini, subyektif dan sangat individualis sifatnya. Kedua, barangkali tidak ada orang yang begitu bersemangat dan emosional dari pada membicarakan agama, karena itu membahas arrti agama itu selalu ada emosi yang kuat sekali, sehingga sulit memberikan arti kata agama itu; dan ketiga, konsepsi tentang agama dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberi definisi tersebut.[1]
Dengan demikian terdapat banyak sekali definisi-definisi yang pernah dibuat orang tentang agama. Karena setiap orang yang mendefinisikan agama memiliki cara yang berbeda dalam memahami agama. Dan juga, hal ini dikarenakan pengalaman beragama adalah subyektif, intern, dan individual, dimana seseorang akan merasakan pengalaman yang berbeda dengan orang lain. Pemaparan diatas sengaja kami kemukakan terlebih dahulu agar sejak awal kita tidak memiliki anggapan bahwa pengertian yang diberikan seorang ahli lebih baik dari pada pengertian yang lain.
Secara umum agama memang menyangkut hubungan manusia dengan sesuatu yang mutlak dan ghaib, sedangkan kemampuan berfikir manusia terbatas. Di sisi lain agama juga tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan masyarakat, yang kemudian menjelama menjadi gejala-gejala yang bervariasi yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu a yang berarti tidak, dan gama yang berarti kacau, pergi, kocar-kacir. Jadi, kata agama dapat diartikan ttidak pergi, tidak kacau, dan/atau teratur. Definisi ini mengindikasikan bahwa agama merupakan kepercayaan yang menjadikan kehidupan yang teratur dan tidak kacau serta mendatangkan kesejahteraan dan keselamatan bagi manusia.[2] Ada juga yang berpendapat bahwa agama berasal dari kata gam yang berarti pergi, tetapi kemudia mendapatkan awalan dan akhiran a. Setelah mendapat awlan dan akhiran a menjadi agama, artinya menjadi: jalan. Yang dimaksud jalan disini adalah jalan hidup.
Dengan demikian pengertian etimologis dari kata agama mengandung arti yang bersifat mendasar yang dimiliki oleh berbagai agama, yaitu bahwa agama adalah jalan, jalan hidup; atau jalan yang harus ditempuh oleh manusia dalam kehidupannya di dunia ini; jalan yang mendatangkan kesejahteraan dalam kehidupan yang teratur, aman, tentram, sebagaimana makna umum yang ada pada berbagai agama.
Di sisi lain ada beberapa istilah lain dari agama yaitu religi dan ad-dien. Religi berasal dari bahasa Latin, yang berasal dari kata relegere atau relegare. Kata relegere berarti mengumpulkan dan membaca.[3] Hal ini sesuai dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara beribadah kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Sedangkan relegare berarti mengikat,[4] hal ini memang sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang mengikat manusia dengan Tuhannya. Sedangkan ad-dien berasal dari bahasa Arab dari kata dasar دَانَ , yang arti dasarnya adalah “hutang”, sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dalam bahasa Semit, induk bahasa Arab, kata دِÙŠْÙ†ُ berarti undang-undang atau hukum. Dengan demikian kata tersebut menunjukkan pengertian agama sebagai undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia.
Sedangkan secara terminologisnya agama dapat diartikan sebagai aturan atau undang-undang hidup yang ditetapkan oleh Tuhan yang mengatur tatacara pengabdian/ibadah manusia terhadap Tuhannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan tetap sesuai dengan fitrah dan tujuan penciptaan, yang nantinya akan membawa manusia kepada kehidupan yang teratur dan sejahtera dunia dan akhirat.
Sedangkan ilmu menurut kamus Besar Bahasa Indonesia Ilmu diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu; atau pengetahuan atau kepandaian tentang soal duniawi, akhirat, lahir, batin, dan sebagainya.
Kata ilmu (science) dalam bahasa Arab "ilm" yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Sedangkan pengetahuan (knowledge) adalah hasil dari aktivitas mengetahui, yakni tersingkapnya kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan terhadap sesuatu.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Pertaama, Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Kedua, Metodis. Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
Ketiga, Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Keempat, Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
B.     Islam sebagai Agama
Islam merupakan nama yang yang memang diberikan Allah swt. kepada sebuah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tidak seperti agama yang lain, islam bukanlah nama yang lahir berdasarkan nama pendiri atau pembawanya. Misalnya agama Budha karena pendirinya adalah Budha Gautama, Kristen karena tokoh yang mendirikannya adalah Nabi Isa atau Yesus yang bergelar Al-Masih atau Kristus. Islam juga bukan berdasarkan nama tempat munculnya sebuah agama. Misalnya agama Hindu yang muncul di India, Hindia atau Hindustan. Islan juga bukan nama sebuah bangsa dimana sebuah agama lahir. Misalnya agama Yahudi yang lahir di kalangan bangsa, suku atau dinasti Yehuda atau Yuda. Dan Islam juga bukan nama tempat lahir pendiri sebuah agama. Misalnya agama Nasrani yang berdasarkan tempat kelahiran Nabi Isa, yaitu Nazareth di Palestina.

Sebagai mana firman Allah swt. dalam surat al-Maidah ayat 3.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agamamu”.
Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa Islam merupakan nama khusus yang diberikan Allah swt. kepada sebuah agama yang dibawa oleh rasul-Nya. Sebenarnya Islam bukan merupakan agama baru karena Islam merupakan agama yang juga telah diturunkan kepada Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelumnya. Dengan demikian, pemakaian nama “Mohammedanisme” untuk menunjukkan agama Islam sebagaimana banyak ditulis oleh para penulis Barat (Orientalist) bukan hanya “salah” tetapi juga mengandung “penghinaan”.
Pamakaian nama tersebut diklaim salah karena Muhammad bukanlah orang yang membuat atau mendirikan agama Islam, tetapi pembuatnya adalah Allah swt. Muhammad hanyalah sebagai pembawa, penyampai apa yang diajarkan oleh Allah swt. Dikatakan penghinaan karena Mohammedanism mengandung arti bahwa Islam itu berpusat pada Muhammad, manusia, bukan Tuhan. Lain halnya dengan pemakaian nama Kristen untuk agama yang dibawa oleh Isa bin Maryam (Yesus) karena pemeluk agama Kristen sendiri yang menyatakan keimananya kepada Isa al-Masih sebagai Tuhan mereka.
Islam secara etimologis berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai.[5] Yang selanjutnya diubah bentuk aslama yang berarti berserah diri dalam kedamaian. Dengan demikian dapat dikatakan hakikat dari agama Islam adalah berserah diri kepada Tuhan. Hal ini tidak hanya menjadi sebuah ajaran Tuhan Kepada hambanya, akan tetapi Islam diajarkan sebagai pemenuhan fitrah manusia yang butuh akan agama. Sehingga pertumbuhannya dan perwujudannya pada manusia selalu bersifat intern, bukan merupakan paksaan dari luar. Karena seandainya ada unsur paksaan maka menyebabkan Islam tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.
Sedangkan Isalam secara terminologis merupakan sebuah agama yang diwahyukan oleh Allah swt. kepada rasulnya untuk disampaikan kepada masyarakat. Jadi, dengan demikian jelaslah bahwa Islam adalah wahyu, dan bukan merupakan sebuah agama yang dibuat oleh Muhammad yang hanya sebagai penyamapai dan penjelas risalah-risalah Tuhannya. Namun keterlibatannya masih dalam batas-batas yang dibolehkan Tuhan.[6]
Dilihat dari segi ajarannya, Islam memiliki dua sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah yang memuat segala hal yang ada di dunia dan akhirat. Dengan kata lain Islam merupakan agama yang kompleks. Hal ini dapat dilihat dari luasnya cakupan ajaran agama Islam, diantaranya adalah dalam bidang agama, ibadah, akidah, ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial, kehidupan ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu, dan sebagainya. Maka dengan demikian tidak cukup apabila kita hanya menelaah atau mengkaji agama –Islam- dengan menggunakan satu metode pendekatan.


C.   Agama sebagai Kajian Ilmiah
Ketika seseorang mengkaji agama, pertama-tama hal yang harus diketahui ialah bagaimana atau dimana agama itu didudukkan dalam kajiannya. Sebab selain agama bersifat manusiawi dan historis,  dirinya juga mempunyai klaim bahwa ia mempunyai sisi yang bersifat transendental. Yang pertama agama dipandang sebagai hal yang bersifat normatif-doktriner, sementara yang kedua sebagai gejala budaya dan sosial. Dengan mengetahui hal ini, setidaknya pengkaji bisa mengetahui pada sisi-sisi mana yang akan menjadi objek kajiannya dari agama.
Penelitian agama menempatkan diri sebagai suatu kajian yang menempatkan agama sebagai sasaran/obyek penelitian. Secara metodologis berarti agama haruslah dijadikan sebagai suatu yang riil betapapun mungkin terasa agama itu sesuatu yang abstrak. Dalam membahas agama -Islam- sebagai objek kajian, akan dibahas hal-hal sebagai berikut; Agama sebagai wahyu, dan agama sebagai gejala budaya dan sosial.
a.         Agama sebagai Wahyu
Agama –Islam- biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Shallallahu ‘alaihi wasallama lisa’adati al-dunya wa al-akhirah (Islama adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat).[7] Jadi, intinya adalah Islam merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa wahyu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk Al-Qur’an, dan wahyu yang berbentuk hadits, sunnah Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang kompleks. Maksudnya, Al-Qur’an memuat berbagai macam persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Sehingga untuk memahami, mempelajari, mengerti, mengkaji Al-Qur’an memerlukan ilmu yang kompleks juga. Hal ini bertujuan agar pemahaman kita terhadap Al-Qur’an lebih bersifat komprehensif. Hal inilah yang kemudian melahirkan Ulumul Qur’an.
Dalam studi Al-Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu, tetapi misalnya mempertanyakan bagaimana membaca Al-Qur’an, mengapa cara membacanya seperti itu, berapa macam jenis bacaan itu, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat, apa maksud ayat itu, dan lain sebagainya. Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang merupakan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, yang menjadi persoalan selanjutnya, jika dahulu dipahami seperti itu, apakah sekarang masih harus dipahami sama seperti itu atau perlu pemahaman baru?
Dalam ilmu tafsir misalnya, sebuah studi tekstual dan kontekstual tentang Al-Qur’an. Sekarang sudah ada juga studi hermeneutika Al-Qur’an. Apa itu hermeneutika Al-Qur’an dan bagaimana penerapannya dalam Islam? Hal ini memang baru dan mungkin masih belum dikenal oleh para mufassir terdahulu. Selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah studi interdisipliner tentang Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan Al-Qur’an dengan kekomplekannya tidak hanya berbicara mengenai teologi, ibadah, norma-norma, tetapi juga berbicara tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Jadi ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya perlu juga dipelajari untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an secara komprehensif.
Islam sebagai wahyu tercermin dalam hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Seperti halnya Al-Qur’an, terdapat berbagai macam persoalan yang ada di sekitar hadits. Sebagaimana yang terdapat dalam buku hadits pertama, Al-Muwattha’, hanya memuat sekitar 700 hadits. Sedangkan selanjutnya berjumlah sekitar 4000 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari, 6000 hadits oleh Imam Muslim, dan 8500 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dan kemudian ada hadits shohih, hadits hasan, hadits mutawatir, hadits ahad, hadits mashur, dan lain-lain. Inilah yang dapat kita jadikan kajian. Misalnya lagi Imam Muslim yang tadinya sudah mengumpulkan sekitar 300.000 hadits, tetapi setelah diseleksi menjadi hanya sekitar 6000 hadits. Mengapa bisa demikian? Untuk menjawabnya kita dapat meneliti rijalul haditsnya, matan, atau perawi hadits tertentu. Kita juga dapat melihat buku-buku syarah hadits. Wilayah-wilayah inilah yang bisa kita jadikan kajian. Tetapi tentunya dalam mengkaji hal yang tidak sederhana ini, kita memerlukan metodologi studi yang memadai, misalnya dengan studi hemeneutika dan historical criticism. Dan tidak bisa hanya mencukupkan pada metode teologis-normatif saja dalam mengkaji agama yang begitu kompleks tersebut.
b.        Agama sebagai Gejala Budaya dan Sosial
Agama dan budaya adalah dua hal yang berbeda tetapi tidak mungkin dipisahkan. Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi pengamalan sebuah agama yang bersangkutan. Sebaliknya sebuah kebudayaan akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana kebudayaan itu berkembang. Oleh karena itu agama bukan saja menjadi masalah individu tetapi agama juga merupakan sebuah urusan sosial yang pada akhirnya orang yang beragama tidak hanya sekedar mampu melahirkan keshalehan individual tetapi juga harus mampu melahirkan keshalehan sosial.
Semula hanya ada dua ilmu yaitu ilmu kealaman dan ilmu budaya. Kedua ilmu ini memiliki karakteristik yang berbeda. Ilmu kealaman berangkat dari tanda-tanda keteraturan yang terjadi di alam raya, suatu penemuan atas gejala alam pada saat yang lain juga akan menghasilkan hal yang sama (tetap). Sebagai contoh air akan selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah, benda yang dilempar ke atas akan jatuh ke bawah dan gejala alam lainnya. Apabila suatu saat dua hal tersebut diteliti lagi maka hasilnya akan cenderung sama karena adanya pengaruh gaya gravitasi bumi. Sedangkan ilmu budaya mempunyai sifat tidak berulang tetapi unik.[8] Seperti contoh perayaan sekaten bagi masyarakat Solo dan Yogyakarta, Grebeg tanggal 10 Dzulhijah bagi masyarakat Demak, Dugderan menjelang ramadhan bagi masyarakat Semarang, Apeman bagi masyarakat Pekalongan dan lain-lain. Keunikan peringatan tersebut bukan karena pengulangannya. Ilmu sosial posisinya berada di antara ilmu kealaman dan ilmu budaya yang berusaha memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami keterulangannya. Sehingga dari keobjektivannya ilmu sosial mengalami problem, yaitu benarkah hasil peneletian sosial itu objektif dan dapat dites kembali keterulangannya? Untuk menjawab pertnyaan ini terdapat dua pandangan. Pertama, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu budaya yang bersifat unik, misalnya penelitian antropologi sosial. Kedua, ilmu sosial lebih dekat kepada ilmu kealaman, karena fenomena sosial dapat berulang dan dapat dites kembali. Misalnya pemberian stimulan pada suatu kelompok yang kemudian akan memberikan sebuah reaksi sebagai sebuah gejala sosial, dan hal ini dapat terjadi pada kelompok lain dengan stimulan yang sama. Maka ada ilmu statistik yang mengukur gejala-gejala sosial secara lebih cermat dan baku.
Ada lima bentuk gejala yang harus diperhatikan ketika kita hendak mempelajari suatu agama. Pertama, scripture, naskah-naskah,suber ajaran dan simbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin dan pemuka agama, yakni sikap, peilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadat-ibadat seperti shalat, puasa, haji perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan peran, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan lain-lain.[9]
Maka dengan uraian di atas, dapat kita tangkap bahwa agama dan pemeluknya merupakan satu kesatuan yang sangat saling memengaruhi satu sama lain. Di sisi lain manusia tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai makhluk sosial dan berbudaya. Dengan demikian kita tidak cukup megkaji agama dengan pendekatan doktriner-normatif saja, tetapi dalam hal ini kita juga perlu memperhatikan aspek-aspek lainnya. Maka kita dapat menggunakan pendekatan yang lain seperti pendekatan sosiologis, pendekatan kebudayaan/humaniora, pendekatan antropologis dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pengkajian agama Islam merupakan satu segi dari ilmu Islam atau studi Islam. Studi Islam adalah pengkajian terhadap ilmu yang diperlukan seorang muslim dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya. Cakupan studi Islam yang begitu luas maka penelitian sebuah agama merupakan hal yang perlu guna mendapatkan keobyektifan dalam memandang sebuah agama. Agama sebagai gejala budaya dan sosial dapat didekati secara kualitatif dan secara kuantitatif. Pendekatan kepada sebuah agama akan ditentukan oleh dari sudut mana agama itu didekati (antropologis, feminis, fenomenologis, filosofis, psikologis, sosiologis atau teologis). Agama sebagai subyek penelitian di dalamnya memiliki tiga kategori yakni agama sebagai doktrin, struktur dan agama sebagai dinamika masyarakat. Pada dataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang jumlahnya masih sangat terbatas.
B.     Saran
Dengan selesainya pembahasan makalah ini dihapkan ada kesadaran ilmiyah seiring dengan perkembangan zaman dan faham yang kita jumpai disekitar kita. Dan mempunyai kesadaran akademis dalam menyikapi `dan memecahkan fonomena perbedaan. Kami yakin dalam pembahasan makalah ini pasti ada pembahasan yang jauh dari kesempurnaan untuk itu kami minta tema teman khususnya bapak pemegang studi psi untuk memberi saran maupin kritikan yang dapat membangunkan kami.


DAFTAR PUSTAKA

·         Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
·         Mu’in, Abd. Taib Khair. Ilmu Mantiq. Jakarta: Widjaya. 1987.
·         Mudzhar, M. Atho. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
·         Mundiri. Logika. Jakarta: Raja Grafindo. 1994.
·         Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo. 1998.
·         Tadjab, Muhaimin, dan Mujib, Abd. Dimensi-Dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama. 1994.


[1] A. Mukti Ali. Universalitas dan Pembangunan. (Bandung: IKIP Bandung, 1971), hlm. 4.
[2] Tadjab, Muhaimin, dan Mujib, Abd. Dimensi-Dimensi Studi Islam. (Surabaya: Karya Abditama 1994) hlm. 37.
[3] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo 1998). Hlm. 10.
[4] Ibid.
[5] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Raja Grafindo 1998). Hlm. 61.
[6] Ibid. Hlm. 65.
[7] M. Atho Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2004) cet. VI. Hlm. 19.
[8] Ibid. Hlm. 12.
[9] Ibid. Hlm. 14.

Wednesday, June 5, 2013

Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Turki Usmani



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Abad pertengahan di Eropa sering disebut zaman kemunduran jika dibandingkan dengan zaman klasik (Yunani-Romawi). Sebaliknya Negara-negara Arab pada abad pertengahan mengalami kemajuan, namun akhirnya negeri itu sedikit demisedikit mengalami kemerosotan. dalam bidang kebudayaan dan kekuasaan.
Setelah perang maladki pada tahun 463 H / 1071 M, yang dimenengkan oleh orang-orang saljuk dengan kemenangan yang paling gemilang atas Romawi, pengaruh kemenangan ini terus meluas ke negeri Anatolia dan kemudian jatuh ketangan mongolia.bersamaan lemahnya Mongolia, pemerintahan saljuk Romawi terpecah menjadi beberapa pemerintahan dengan kondisi yang lemah dan saling bertikai. Pemerintahan Usmaniyah lalu menguasainya pada waktu yang berbeda, kemudian menyatukan wilayah ini dibawah benderanya.
Rentang sejarah antara tahun 923-1342 H dari sejarah Islam merupakan masa Usmaniyah. Hal ini karena kekuasaan Usmaniyah merupakan periode terpanjang dari halaman sejarah Islam. Selama 5 abad pemerintahan Usmaniyah telah memainkan peran yang pertama dan satu-satunya dalam menjaga dan melindungi kaum muslim. Usmaniyah merupakan pusat khalifah Islam yang terkuat pada masa itu, bahkan merupakan Negara paling besar di dunia.
Sekalipun telah muncul pada tahun 699 H / 1299 M, namun pemerintahan ini belum menjadi khalifah. Orang-orang Usmaniyah belum mengumumkan kekhalifahan mereka, hingga akhirnya khalifah Abbasiyah di kairo menyerahkan kepada mereka kekhalifahannya pada tahun 923 H / 1517 M.
Di Negara-Negara Arab pada masanya, kerajaan turki usmani merupakan kerajaan terbesar dan peling lama berkuasa, bralangsung selama enam abad lebih (1281-1924 M). pada masa pemerintahan turki Usmani, para sultan bukan hanya merebut negri-negri Arab, tetapi juga seluruh wilayah kaukasus dan wina bahkan sampai ke balkan. Dengan demikian tumbuhlah pusat-pusat Islam di Trace, Mecodonia, dan sekitarnya.
Eksistensi kerajaan turki Usmani sangnat diperhitungkan oleh ahli-ahli politik barat. Hal ini didasarkan pada realita sejarah bahwa selama berabad-abad kekuasanya, turki telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban, baik dikawasan Negara-negara Arab, Asia bahkan Eropa.
B.  Rumusan masalah
1.      Bagaimana pengaruh letak geografis Turki?
2.      Bagaimana proses munculnya kerajaan Turki Usmani?
3.      Bagaimana perkembangan peradaban Islam pada masa kerajaan Turki Usmani?
4.      Apa saja faktor-faktor runtuhnya kerajaan Turki Usmani?
C.      Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengaruh letak geografis Turki.
2.      Mengetahui asal mula kerajaan Turki Usmani.
3.      Mengetahui perkembangan peradaban Islam pada masa kerajaan Turki Usmani.
4.      Mengetahui faktor-faktor runtuhnya kerajaan Turki Usmani.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengaruh Letak Geografis Turki
Negara Turki adalah negara di dua benua. Dengan luas wilayah sekitar 814.578 kilometer persegi, 97% (790.200 km persegi) wilayahnya terletak di benua Asia dan sisanya sekitar 3% (24.378 km persegi) terletak di benua Eropa. Posisi geografi yang strategis itu menjadikan Turki jembatan antara Timur dan Barat. Bangsa Turki diperkirakan berasal dari Asia Tengah. Secara historis, bangsa Turki mewarisi peradaban Romawi di Anatolia, peradaban Islam, Arab dan Persia sebagai warisan dari Imperium Usmani dan pengaruh negara-negara Barat Modern. Hingga saat ini bangunan-bangunan bersejarah masa Bizantium masih banyak ditemukan di Istanbul dan kota-kota lainnya di Turki. Yang paling terkenal adalah Aya Sofya, suatu gereja di masa Bizantium yang berubah fungsinya menjadi masjid pada masa Khalifah Usmani dan sejak pemerintahan Mustafa Kemal hingga kini dijadikan museum.
Peradaban Islam dengan pengaruh Arab dan Persia menjadi warisan yang mendalam bagi masyarakat Turki sebagai peninggalan Dinasti Usmani. Islam di masa kekhalifahan diterapkan sebagai agama yang mengatur hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Khalik, Sang Pencipta, dan juga suatu sistem sosial yang melandasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Islam yang muncul di Jazirah Arab dan telah berkembang lama di wilayah Persia, berkembang di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki dengan membawa peradaban dua bangsa tersebut. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan pengaruh yang kuat kedua peradaban tersebut ke dalam kebudayaan bangsa Turki. Kondisi ini menimbulkan kekeliruan pada masyarakat awam yang sering menganggap bahwa bangsa Turki sama dengan bangsa Arab. Suatu anggapan yang keliru yang selalu ingin diluruskan oleh bangsa Turki sejak tumbuhnya nasionalisme pada abad ke-19. Selanjutnya arah modernisasi yang berkiblat ke Barat telah menyerap unsur-unsur budaya Barat yang dianggap modern. Campuran peradaban Turki, Islam dan Barat, inilah yang telah mewarnai identitas masyarakat Turki.
Masyarakat Indonesia mengenal Turki sebagai suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kita juga mengenal Turki sebagai bangsa yang pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun, dari permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20. Fenomena kehidupan masyarakat Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang berdiri tahun 1923 menyatakan sebagai sebuah negara sekuler, di mana Islam yang telah berfungsi sebagai agama dan sistem hidup bermasyarakat dan bernegara selama lebih dari tujuh abad, dijauhkan peranannya dan digantikan oleh sistem Barat.
B. Asal Mula Kerajaan Turki Ustmani
Bangsa Turki mempunyai dua dinasti yang berhasil mengukir sejarah dunia. Pertama, dinasti turki saluk dan kedua dinasti turki utsmani. Namun akhirnya kerajaan turki saljuk hancur oleh seragan pasukan mongol, yang nantinya merupakan moment terbentuknya dinasti turki utsmani.[1]
Kerajaan Turki Usmani muncul di pentas sejarah Islam pada periode pertengahan. Masa kemajuan Dinasti ini dihitung dari mulai digerakkannya ekspansi ke wilayah baru yang belum ditundukkan oleh pendahulu mereka. keberhasilan mereka dalam memperluas wilayah kekuasaan serta terjadinya peristiwa-peristiwa penting merupakan suatu indikasi yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan kemajuan tersebut.
Kelompok kedua ini berjumlah 400 kepala keluarga yang dipimpin oleh Ertugril (Erthogrol) ibn Sulaiman. Mereka mengabdikan dirinya kepada Sultan Alauddin II dari Dinasti Saljuk Rum yang pusat pemerintahannya di Kuniya, Anatolia Asia Kecil.
Pada saat itu, Sultan Alauddin II sedang menghadapi bahaya peperangan dari bangsa Romawi yang mempunyai kekuasaan di Romawi Timur (Byzantium). Dengan bantuan dari bangsa Turki pimpinan Erthogrol, Sultan Alauddin II dapat mencapai kemenangan. Atas jasa baik tersebut Sultan menghadiahkan sebidang tanah yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu Erthogrol terus membina wilayah barunya dan berusaha memperluas wilayahnya dengan merebut wilayah Byzantium.
Pada tahun 1288 Erthogrol meninggal dunia, dan meninggalkan putranya yang bernama Usman, yang diperkirakan lahir pada 1258 M. usman inilah yang ditunjuk oleh Erthogrol untuk meneruskan kepemimpinannya dan disetujui serta didukung oleh Sultan Saljuk pada saat itu. Nama Usman inilah yang nanti diambil sebagai nama untuk Kerajaan Turki Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti Usmani. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa kepada Sultan Alauddin II. Kemenangan-kemenangan dalam setiap pertempuran dan peperangan diraih oleh Usman. Dan berkat keberhasilannya maka benteng-benteng Bizantium yang berdekatan dengan Broessa dapat ditaklukkan. Keberhasilan Usman ini membuat Sultan Alauddin II semakin simpati dan banyak memberi hak istimewa pada Usman. Bahkan Usman diangkat menjadi gubernur dengan gelar Bey, dan namanya selalu disebut dalam do’a setiap khutbah Jum’at. Penyerangan Bangsa Mongol pada tahun 1300 ke wilayah kekuasaan Saljuk Rum mengakibatkan terbunuhnya Sultan Saljuk tanpa meninggalkan putra sebagai pewaris kesultanan. Dalam keadaan kosong itulah, Usman memerdekakan wilayahnya dan bertahan terhadap serangan bangsa Mongol. Usman memproklamirkan kemerdekaan wilayahnya dengan nama Kesultanan Usmani.
Pada awalnya Kerajaan Turki Usmani hanya memiliki wilayah yang sangat kecil, namun dengan adanya dukungan militer, tidak berapa lama Usmani menjadi kerajaan yang sangat besar dan bertahan dalam kurun waktu yang lama. Setelah Usmani meninggal pada 1326, puteranya Orkhan (Urkhan) naik tahta pada Usia 42 tahun. Pada periode ini tentara islam pertama kali masuk Eropa. Orkhan berhasil mereformasi dan membentuk tiga pasukan utama tentara. Pertama tentara sipahi (tentara reguler) yang mendapatkan gaji pada tiap bulannya. Kedua, tentara Hazeb (tentara ireguler) yang digaji pada saat mendapatkan harta rampasan perang  (Mal al-Ghanimah). Ketiga tentara jenisari direkrut pada saat berumur 12 tahun, kebanyakan adalah anak-anak kristen yang dibimbing Islam dan disiplin yang kuat.[3]
Sejak saat itu, dalam sejarah Islam terdapat dua jabatan penting yang dikuasai oleh seorang penguasa. Yaitu, sebagai sultan untuk kekuasaan Turki dan sebagai khalifah bagi seluruh dunia Islam. Sepeninggal Salim I digantikan Sulaiman Agung 1520-1566 M, ia sebagai penguasa Usmani yang berhasil membawa kejayaan Islam. Ia dijuluki sebagai Sulaeman al-Qanuni. Sulaeman bukan hanya sultan yang paling terkenal dikalangan Turki Usmani, akan tetapi pada awal ke-16 ia adalah kepala negara yang paling terkenal di dunia. Ia seorang penguasa yang saleh, ia mewajibkan rakyat muslim harus shalat lima kali dan berpuasa dibulan Romadhon, jika ada yang melanggar tidak hanya dikenai denda namun juga sangsi badan. Sulaiman juga berhasil menerjemahkan al-Qur’an dalam bahasa turki.[4]
Sekitar dua pertiga abad setelah didirikan di Anatolia pada 1300 dengan mengorbankan kekaisaran Bizantium, dan didirikan di atas reruntuhan kerajaan Saljuk, kerajaan Turki Utsmani hanyalah sebuah emirat di daerah perbatasan. Negara ini selalu diliputi suasana peperangan dan pada saat itu senantiasa dalam keadaan genting. Ibukota negara ini, pertama kali didirikan pada 1326, adalah Brusa (Bursa). Mendekati 1366, emirat itu telah berkembang lebih stabil, mendapatkan pijakan yang lebih kokoh di daratan Eropa, dan berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dengan Adrianopel (Edirna) sebagai ibukotanya. Penaklukan Konstantinopel pada 1453 yang dipimpin oleh Muhammad II, Sang Penakluk (1451-1481) secara formal mengantarkan negara ini pada satu era baru yaitu era kerajaan.[5]

Selama masa kesultanan Turki Usmani (1299-1942 M.) sekitar 625 tahun berkuasa tidak kurang dari 38 Sultan.
Dalam hal ini, Syafiq A. Mughni membagi sejarah kekuasaan Turki Usmani menjadi lima periode, yaitu:
1.    Periode pertama (1299-1402), yang dimulai dari berdirinya kerajaan, ekspansi pertama sampai kehancuran sementara oleh serangan timur yaitu dari pemerintahan Usman I sampai pemerintahan Bayazid.
2.    Periode kedua (1402-1566), ditandai dengan restorasi kerajaan dan cepatnya pertumbuhan sampai ekspansinya yang terbesar. Dari masa Muhammad I sampai Sulaiman I.
3.    Periode ketiga (1566-1699), periode ini ditandai dengan kemampuan Usmani untuk mempertahankan wilayahnya. Sampai lepasnya Honggaria. Namun kemunduran segera terjadi dari masa pemerintahan Salim II sampai Mustafa II.
4.    Periode keempat (1699-1838), periode ini ditandai degan berangsur-angsur surutnya kekuatan kerajaan dan pecahnya wilayah yang di tangan para penguasa wilayah, dari masa pemerintahan Ahmad III sampai Mahmud II.
5.    Periode kelima (1839-1922) periode ini ditandai dengan kebangkitan kultural dan administrasi dari negara di bawah pengaruh ide-ide barat, dari masa pemerintahan Sultan A. Majid I sampai A Majid II.

C.    Peradaban Pada Masa Kerajaan Turki
Sebelum Tanzimat
Sebagai diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.[6] Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banayak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan. Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar andulymembawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir. Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi. Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini:
1.Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.



Masa Tanzimat (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[7] Term ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M). Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at(tasyri’ madani). Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaansyaikh al-Islam, sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani(Undang-undang Peradilan Perdata). Dengan penerapan al-Nizham al-Qadha al-madani (Undang-undang Peradilan Perdata) dalam peradilan muncul Mahkamah al-Nizhamiyah yang terdiri dariQadha al-Madani (Peradilan Perdata) dan Qadha-Syar’i(Peradilan Agama ). Dikotomi lembaga peradilan pada masa Sultan Mahmud II memberikan indikasi sudah adanya pemisahan urusan agama dan urusan dunia. Kemunculan tanzimat dilatarbelakangi oleh:
1. Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2. Muncul para tokoh tanzimat yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1. Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2. Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3. Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual.
Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M. Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2. Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3. Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita. Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan, serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan. Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama. Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang. Selanjutnya pada tahun 1856M Sultan Abdul Majid mengumumkan belakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani, sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan. Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
Kerajaan Turki usmani merupakan salah satu kerajaan Islam yang bertahan lama yang mampu mengembangkan peradaban dalam berbagai hal. Selain pembangunan dalam bentuk fisik, perkembangan pesat juga terjadi dalam hal pemikiran.
A.    Bidang Pendidikan
Akibat kegigihan dan ketangguhan yang dimiliki oleh para pemimpin dalam mempertahankan Turki Usmani membawa dampak yang baik sehingga kemajuan-kemajuan dalam perkembangan wilayah Turki Usmani dapat diraihnya dengan cepat. Dengan cara atau taktik yang dimainkan oleh beberapa penguasa Turki seperi Sultan Muhammad yang mengadakan perbaikan-perbaikan dan meletakkan dasar-dasar keamanan dalam negerinya yang kemudian diteruskan oleh Murad II (1421-1451M).
Sehingga Turki Usmani mencapai puncak kejayaan pada masa Muhammad II (1451- 1484 M). Usaha ini di tindak lanjuti oleh raja-raja berikutnya, sehingga dikembangkan oleh Sultan Sulaiman al-Qonuni. Ia tidak mengarahkan ekspansinya kesalah satu arah timur dan Barat, tetapi seluruh wilayah yang berada disekitar Turki Usmani itu, sehingga Sulaiman berhasil menguasai wilayah Asia kecil.
Kemajuan dan perkembangan wilayah kerajaan Usmani yang luas berlangsung dengan cepat dan diikuti oleh kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang kehidupan lain yang penting, diantaranya dalam bidang pendidikan.
Salah satu lembaga yang maju pada masa turki usmani adalah madrasah, didorong dengan mempelajari beragam ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan berserak saat berlangsungnya pemerintahan Turki Usmani. Salah satunya adalah madrasah. Bukan hanya kuantitas bangunan yang menjadi perhatian, juga kualitas pendidikan. Terobosan bermakna dalam hal ini adalah perumusan kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan di madrasah berkembang secara dinamis menuju ke arah lebih baik. Salah satu hal yang berlaku dalam proses pengajaran di madrasah Turki Usmani adalah mendorong para siswa untuk mengakses sebanyak mungkin buku yang membahas beragam bidang ilmu.
Hal ini merupakan uraian perinci dari tujuan utama pendirian lembaga pendidikan berupa madrasah. Yaitu, melahirkan siswa Muslim yang memiliki banyak pengetahuan dan memegang teguh nilai-nilai moral yang baik dan benar. Madrasah digiring untuk menciptakan para siswa yang pandai sekaligus baik hati dan berbudi luhur. Pada masa pemerintahan Sultan Suleiman, terdapat kode hukum yang menjabarkan secara umum mengenai tujuan pendidikan.Disebutkan dalam kode hukum itu bahwa tujuan pendidikan adalah guna memahami misteri penciptaan dan membangun sebuah negara yang berjalan secara teratur dan baik. Ini diyakini akan menjamin kelestarian, ketertiban, dan kesejahteraan umat manusia. Tujuan lainnya, pendidikan menjadi sebuah sarana untuk menuai ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Lalu, mendapatkan penjelasan mengenai kebajikan, bakat, dan agama, hingga akhirnya para siswa memiliki kapasitas yang baik. Sejumlah sumber menyebutkan mengenai penetapan tujuan dan kurikulum pendidikan di madrasah itu. Di antaranya, berasal dari cendekiawan Ahmed bin Isameddin, yang hidup pada abad ke-16. Bahkan, ia merupakan seorang pengajar di madrasah.
B.     Bidang kemiliteran
Para pemimpin kerajaan Usmani pada masa-masa pertama adalah orang-orang yang kuat sehingga dapat melakukan ekspansi dengan cepat dan luas. Kemajuan kerajaan Usmani tidak semata mata karena keunggulan politik para pemimpinnya. Faktor-faktor tersebut adalah keberanian, keterampilan, ketangguhan dan kekuatan militernya yang sanggup bertempur kapan dan dimana saja.
Strategi yang dilakukan diantaranya adalah:
1.      Kekuatan militer diorganisasi dengan baik dan teratur. Untuk pertama kali dilakukan ketika terjadi kontak senjata dengan Eropa yang mencapai kemenangan. Ekspansi kerajaan ini pertama kalinya lebih banyak ditujukan ke Eropa Timuryang belum masuk dalam wilayah kekuasaan dan agama islam.
2.      Mengadakan perombakan besar-besaran dalam tubuh militer. Hal ini dilakukan Orkhan ketika kesadaran prajuritnya menurun.
3.      Pembaharuan dalam tubuh organisasi militer oleh Orkhan tidak hanya dalam bentuk mutasi personil-personil pimpinan, tetapi juga diadakan perombakan dalam keanggotaan. Bangsa-bangsa non-Turki dimasukkan sebagai anggota, anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissariatau Inkisyariah. Pasukan Inkisyariah adalah tentara utama Dinasti Usmani yang terdiri dari bangsa Gerrgia dan Armenia yang baru masuk islam.[8] Pasukan inilah yang dapat mengubah Negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukkan negeri-negeri non muslim.
4.      Disamping  Jenissari,  ada lagi prajurit dari tentara kaum feudalyang dikirim kepada pemerintah pusat yaitu kelompok militer Thaujiah. Kelompok ini mempunyai peranan yang besar dalam perjalanan Tuki Usmani terutama dalam pembenahan Angkatan laut. Sehingga pada abad ke-16 angkatan laut Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.
5.      Tabiat bangsa turki  yang bersifat militer, berdisiplin, dan patuh terhadap peraturan yang diwarisi dari nenek moyangnya di Asia Tengah menyebabkan fokus kegiatan mereka juga lebih menonjol dalam bidang militer.
6.      pasukan  Turki terus diperbesar dengan merekrut pendatang-pendatang baru orang-orang Turkmen dari timur, yang ingin menjadi ghazi atau prajurit iman melawan orang Kristen, dan dari ghazi-ghazi inilah dinasti Usmnaniyyah mendapatkan tradisi militer dan semangat yang member jalan baginya untuk berkembang dan maju dan akhirnya mencaplok semua kesultanan Turki lainnya yang lebih statis.
C.    Bidang Budaya dan Sosial
Adapun mengenai budaya sosial, budaya Turki Usmani  sangat di pengaruhi oleh tiga budaya. Dari kebudayaan persia mereka mengambil ajaran tentang etika dan tata krama dalam istana. Ajaran tentang prinsip-prinsip ekonomi , sosial, kemasyarakatan, dan keilmuan mereka mengambil dari Bangsa Arab. Sedangkan pemerintahan dan organisasi kemiliteran mereka banyak dapat dari Bizantium.
Dalam menjalankan ilmu pemerintahan, pemimpin turki Usmani menggunakan dua gelar sekaligus yaitu khalifah dan sultan. Khalifah sebagai simbol penguasa dunia dan khalifah juga symbol sebagai penguasa spritual (agama). Secara praktis, pemimpin turki Usmani memiliki dua pembantu utama.
1.    Mufti atau Syaykh al-Islam yang berwenang mewakili pemimpin turki Usmani dalam melaksanakan wewenang spiritual.
2.    Shadhr al- A’zham (perdana mentri) yang berwenang mewakili pemimpin Turki Usmani dalam melaksanakan duniawi.
Ulama dan sejumlah karyanya yang dihasilkan pada masa Turki Usmani adalah:
1.      Mustafa Ali (1541-1599), ahli sejarah. Diantara karyanya adalah Kunh al-Akhbar, yang berisi sejarah dunia dari Adam As sampai Yesus, sejarah Islam awal hingga Turki Usmani.
2.      Evliya Chelebi (1614-1682), ahli ilmu sosial. Diantara karyanya adalah Seyabat Name (buku pedoman perjalan) yang berisi tentang masyarakat dan Turki Usmani.
3.      Arifi (1561), sejatawan istana. Diantara karyanya adalah Shah-name –I al-Osman yang berisi cerita tentang keluarga raja-raja Usmani.
Selain meninggalkan buku-buku sebagai kekayaan sejarah, Turki Usmani juga meninggalkan sejumlah bangunan yang memperlihatkan keunggulan penguasaan teknologi pada zamannya. Masjid Aya Sophia, Masjid Agung Sultan Muhammad Al-Fatih, masjid Abu Ayub Al-Anshari, masjid Byazid dan masjid Sulaiman al-Qanuni, merupakan masjid yang berasitektur tinggi dengan menggunakan “kubah batu” yang menggambarkan persaingan antara Islam dengan Kristen.
D.    Bidang Keagamaan 
Agama dalam tradisi masyarakat Turki mempunyai peranan besar dalam lapangan sosial dan politik. Masyarakat di golongkan berdasarkan agama, dan kerajaan sendiri sangat terikat dengan syariat sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Oleh karena itru, ajaran ajaran thorikot berkembang dan juga mengalami kemajuan di Turki Usmani.
1)   Adanya jabatan Mufti sebagai Pejabat urusan agama tertinggi, yang memiliki kuasa legitimasi dalam hukum kerajaan.
2)   Dalam bidang Tasauf berkembang tiga tarekat besar yang memberikan dukungan kuat bagi kerajaan:
a)    Tarekat Baktasyi, Tarekat ini dibawa oleh Ahmad Yasawi (1169 M) dan pengikutnya pernah menjadi tentara yang sangat tangguh dalam berbagai penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan Turki Usmani.
b)   Tarekat Maulawiyah, tarekat ini dibawa oleh Jalaluddin Rumi (1273 M), ia memperkenalkan sama’, sebuah tarian untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan zikir tertentu.
c)    Tarekat Naqsabandiyah, tarekat ini memperkenalkan zikir khafi (diam/tidak bersuara) dan masih berkembang sampai saat ini.
E.  Bidang Ekonomi
Tercatat beberapa kota yang maju dalam bidang industri pada waktu itu di antaranya: Mesir sebagai pusat produksi kain sutra dan katun. Anatoli selain sebagai pusat produksi bahan tekstil dan kawasan pertanian yang subur, juga menjadi pusat perdagangan dunia pada saat itu.
Orang Turki terkenal pandai berbaur dengan masyarakat bangsa-bangsa lain, mereka terbuka dengan berbagai kebudayaan. Sementara itu Usmani mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas. Maka, latar belakang ini menyebabkan kebudayaan Usmani bercorak pluralistik. Diamna antara dipusat dengan didaerah, atau antara didaerah lai, bisa berbeda. Diantara unsur kebudayaan yang paling menonjol disana adalah kebudayaan Persia, Bizantine, dan Arab. Kebudayaan persia lebih banyak menyumbangkan aspek-aspek etika terutama etika kehidupan istana. Sedang kebudayaan Bizantine lebih menonjolkan organisasi pemerintahan dan kemiliteran. Ajaran-ajaran tentang ekonomi, sosial dan kemasyarakatan, keilmuan dan bahasa diambil dari bangsa Arab.[9] Sebagai  bangsa yang berdarah militer, Usmani lebih menonjolkan kegiatan dibidang kemiliteran, sedangkan dalam bidang ilmu pengetahuan tidak begitu menonjol. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu seni arsitektur Islam tidak luput dari perhatian Usmani. Masjid jami’ Sultan Muhammad al-Fatih, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub al-Anshari dibangun dengan mempertimbangkan unsur-unsur seni seperti hiasan kaligrafi Arab yang indah.
Dalam bidang keagamaan, Usmani sangat memperhatikan kehidupan keagamaan dimasyarakat. Khususnya dalam aspek-aspek sosial keagamaan dan pelaksanaan hukum-hukum Agama. Kekhalifahan ini lebih bercorak keagamaan, sehingga ia sendiri sangat terikat dengan syari’at sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku. Ulama menjadi sangat penting, khususnya ketika masa-masa kejayaan Usmani. Dari sisi ilmu-ilmu Agama, sebenarnya kurang berkembang, justru sebaliknya, kehidupan bermadzhab lebih menonjol sebagai salah satu tanda bahwa masyarakat merasa cukup dengan ilmu-ilmu agama yang pernah dibangun oleh para ulama terdahulu dimasa Bani Abbas.
D.   Faktor-Faktor Yang Mempengarui Kemunduran Dan Kejatuhan Turki Utsmani
1. Wilayah kekuasaan yang terlalu luas
 Perluasan wilayah yang begitu cepat yang terjadi pada kerajaan Usmani, menyebabkan pemerintahan merasa kesulitan dalam melakukan administrasi pemerintahan, terutama pasca pemerintahan Sultan Sulaiman. Sehingga administrasi pemerintahan kerajaan Usmani tidak beres. Tampaknya penguasa Turki Usmani hanya mengadakan ekspansi, tanpa mengabaikan penataan sistem pemerintahan. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat mudah direbut oleh musuh dan sebagian berusaha melepaskan diri.[10]
2.   Heterogenitas penduduk
Sebagai kerajaan besar, yang merupakan hasil ekspansi dari berbagai kerajaan, mencakup Asia kecil, Armenia, Irak, Siria dan negara lain, maka di kerajaan Turki terjadi heterogenitas penduduk. Dari banyaknya dan beragamnya penduduk, maka jelaslah administrasi yang dibutuhkan juga harus memadai dan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi kerajaan Usmani pasca Sulaiman tidak memiliki administrasi pemerintahan yang bagus di tambah lagi dengan pemimpinpemimpin yang berkuasa sangat lemah dan mempunyai perangsai yang jelek.
3.   Kelemahan para penguasa
Penguasa yang tidak cakap Setelah sultan Sulaiman II al-Qanuni. Kelemahan ini lebih disebabkan masuknya sikap hedonisme di kalangan istana, seperti suka bermewah-mewahan, minum-minuman kras, dan wanita penghibur, hal ini menimbulkan perselisihan dilingkungan istana.
5.      Budaya Pungli
Budaya ini telah meraja lela yang mengakibatkan dekadensi moral terutama dikalangan pejabat yang sedang memperebutkan kekuasaan (jabatan).
6.   Pemberontakan-Pemberotakan Tentara Jenissari
Pemberontakan Jenissari terjadi sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M dan 1826 M. Pada masa belakangan pihak Jenissari tidak lagi menerapkan prinsip seleksi dan prestasi, keberadaannya didominasi oleh keturunan dan golongan tertentu yang mengakibatkan adanya pemberontakan-pemberontakan.
7.   Merosotnya Ekonomi
Akibat peperangan yang terjadi secara terus menerus maka biaya pun semakin membengkak, sementara belanja negara pun sangat besar, sehingga perekonomian kerajaan Turki pun merosot
8.   Kurang berkembangnya ilmu pengetahuan 
Ilmu dan Teknologi selalu berjalan beriringan sehingga keduanya sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Keraajan usmani kurang berhasil dalam pengembagan Ilmu dan Teknologi ini karena hanya mengutamakan pengembangan militernya. Kemajuan militer yang tidak diimbangi dengan kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan Usmani tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju.







BAB III
ANALISIS

Dalam kurun waktu 6 abad berkuasa, kerajaan turki usmani telah diakui oleh sejarah sebagai kerajaan islam terbesar dan terlama dibanding dengan kerajaan islam lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal penting sehingga kerajaan ini mampu bertahan sedemikian lamanya. Penulis ingin menganalisis dari bebagai aspek, yaitu:
Sistem sosial masyarakat, salah satu kunci kesuksesan dan keberhasilan turki usmani adalah adanya persatuan di antara masyarakatnya yang begitu banyak, (pada tahun 1520 jumlah penduduk kerajaan turki usmani adalah 11,692,480 peduduk). Persatuan ini oleh pemerintah diwadahi dalam bentuk organisasi keagamaan bernama millet. Millet adalah kelompok agama yang diperbolehkan membangun komunitasnya sendiri di bawah peraturan dan perlindungan kerajaan turki usmani. pluralitas yang diberikan pada rakyatnya mampu memberikan rasa persatuan bagi rakyat dari berbagai wilayah yang ditaklukannya sehingga, semua masyarakatnya bersatu. Namun pada akhirnya sistem ini runtuh bersamaan dengan munnculnya paham nasionalisme yang disebarkan oleh bangsa barat, yang memang bertujuan menyerang dari dalam masyarakatnya. Sehingga setiap wilayah / kerajaan kecil yang ditaklukannya mulai memberontak dari dalam atas semangat nasionalisme mereka, masyarakat kerajaan turki usmani pun kemudian terpecah belah, setelah sebelumnya bersatu, bahkan kerajaan turki usmani mendapat julukan “The Sickman Europe” (Orang Eropa yang sakit). Hal ini kemudian ingin dihilangkan dengan memberikan paham pan-turkisme, paham untuk menyatukan seluruh masyrakat turki, namun paham ini tidak bisa diterima rakyat, berlanjut dengan paham pan-islamisme oleh Sultan Abdul Hamid II, paham yang menyerukan umat islam bersatu secara politik, persatuan ini diwujudkan berupa pengakuan sultan turki usmani sebagai khalifah umat islam, gagasan ini berhasil mendapat simpati umat islam untuek beberapa tahun. Namun perlawanan barat tidak berhenti sampai di situ, kartu As terakhir mereka adalah mengusung paham demokrasi yang kemudian mengakhiri kerajaan turki usmani dan memunculkan republik turki yang dipelopori oleh Mustafa kemal attaturk.
Kekuatan militer, berbeda dengan kerajaan-kerajaan islam sebelumnya, kerajaan turki usmani, mulai dari raja pertamanya Usman hingga raja terhebatnya Sulaiman Al Qanuni, lebih memfokuskan pada perkembangan militer. Hal ini dikarenakan bangsa turki terkenal sebaga bangsa yang berdarah militer, sehingga semangat militernya sangat kuat, untuk itu sebagian besar APBN kerajaan dipergunakan untuk membiayai prajurit perang daripada untuk keperluan lain, seperti agama, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Bahkan untuk memperbanyak prajurit, raja kedua turki usmani, Orkhan mengangkat Bangsa-bangsa non-Turki sebagai prajurit, bahkan anak-anak Kristen yang masih kecil diasramakan dan dibimbing dalam suasana Islam untuk dijadikan prajurit. Program ini ternyata berhasil dengan terbentuknya kelompok militer baru yang disebut pasukan Jenissari atau Inkisyariah. Pasukan inilah yang dapat mengubah negara Usmani menjadi mesin perang yang paling kuat, dan memberikan dorongan yang amat besar dalam penaklukkan negeri-negeri non muslim. Hal ini menjadikan kerajaan ini lebih kuat dibandingkan kerajaan-kerajaan lain, sehingga semakin banyak wilayah yang ditaklukkan maka semakin banyak pula prajurit-prajurit baru yang dapat dilatih untuk dijadikan tentara islam. Jadilah kerajaan turki usmani kerajaan yang hebat dan berwilayah yang luas.
Sistem pemerintahan, saat wilayah semakin luas, tentunya sistem pemerintahan harus hebat juga, dalam mengelola wilayah yang luas sultan-sultan Turki Usmani senantiasa bertindak tegas. Sulaiman Al Qanuni menerapkan sistem pemerintahan pembagian wilayah kekuasaan, sehingga dalam struktur pemerintahan, sultan sebagai penguasa tertinggi, dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri), yang membawahi pasya (gubernur). Gubernur mengepalai daerah tingkat I. Di bawahnya terdapat beberapa orang al-zanaziq atau al-’alawiyah (bupati). Hal ini menjadikan kerajaan turki usmani pada masa sulaiman Al-Qanuni bisa mengatur wilayah yang sedemikian besarnya.
Ilmu pengetahuan, meskipun kerajaan turki usmani hebat dalam hal sistem militer dan sistem pemerintahan, namun mereka tidak terlalu memperhatikan ilmu pengetahuan, yang sebenarnya bisa lebih memperkuat tenaga militer. APBN Negara sebagian besar dipergunakan untuk membiayai pendidikan militer bangsa-bangsa non-turki untuk dijadikan prajurit islam yang kuat, sehingga hanya sedikit yang dipergunakan untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan kelemahan tersendiri bagi mereka. Berbeda dengan kerajaan-kerajaan barat yang lebih memfokuskan perhatian pada ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu pengetahuannya berkembang pesat, yang kemudian memperkuat militer dengan senjata-senjata api baru, yang tidak dimiliki oleh turki usmani. ketika bangsa turki usmani diserang oleh bangsa barat dengan senjata baru mereka, bangsa turki usmani mulai kekualahan. Sehingga pasca kehebatan dan wilayahnya yang luas, sedikit demi sedikit kerajaan ini mulai digerogoti, baik dari luar kerajaan maupun dari dalam kerajaan (pemberontak).
Munculnya kaum elit, bahwa raja-raja setelah sulaiman al qanuni, kurang bisa mengatur pemerintahannya, bahkan ditambah lagi munculnya kaum elit kapitalis di wilayah pemerintahan, sehingga individualitas antar pemimpin dan golongan-golongan elit semakin tumbuh, yang berlanjut dengan penumpukan harta umtuk kepentingan masing-masing, hal ini dimanfaatkan oleh Negara-negara yang telah dikuasainya untuk memerdekakan diri, mereka tidak mau lagi dimanfaatkan tenaganya oleh bangsa turki untuk dijadikan tentara, disamping itu serangan-serangan barat pada wilayah terluar kerajaan juga semakin memperburuk suasana pemerintahan, anggaran dana yang seharusnya dipergunakan untuk memperkuata pertahanan militer Negara sebagian besar dikuasai dan dimonopoli oleh kaum elit kerajaan, hal ini mengakibatkan semangat berperang prajurit melemah karena tidak adanya dana untuk peperangan yang memadai, sehingga perlahan-lahan wilayah kerajaan mulai mengalami penyusutan, hingga pada tahun 1924 kerajaan turki usmani berubah menjadi republik turki.




BAB IV
KESIMPULAN

Kerajaan turki utsmani merupakan kerajaan yang dipimpin oleh 40 sultan. Pada abad pertengahan memang masa yang paling bersejarah bagi bangsa arab, bahkan kemunduran bagi bangsa barat, dalam segi pandang kerajaan, kekuasaan wilayah adalah yang terpenting. Turki utsmani yang memimpin selama kurang lebih 6 abad memberikan bukti kejayaannya sampai ke Eropa, akan tetapi dari stagnanisasi bangsa utsmani mereka lebih memajukan kemiliteran mereka dari pada pendidikannya, bagi mereka kemiliterannya adalah satu hal yang terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimin, dengan orientasi penalukan konstantinopel, membuat mereka menjadi bersemangat untuk menjadikan kerajaan turki utsmani menjadi symbol kejayaan islam.
Penyimpangan orientasi mereka ini membuat terlena dengan keluasan wilayah sehingga membuat mereka meninggalkan perkembangan pendidikan mereka. Berbeda dengan bangsa Eropa yang telah mengugguli mereka, kemunduran kerajaan turki utsmani ini terlihat dari bagian bagian wilayah yang dikuasai oleh turki utsmani ini mulai tergerak ingin merubah hidupnya menjadi yang lebih baik dan muncul paham kapitalisme individual sehingga sebagian mereka ingin melepaskan diri.  Tampaknya pengaruh barat mulai mendapatkan hasil dengan kelemahan kerajaan turki ini, dan terlahir paham-paham yang ingin membebaskan, sehingga paham turki sendiri tidak dapat menghalangi mereka.




DAFTAR PUSTAKA

·        Abdul M. Karim. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
·        Hasan Abu Ali al-Nadwi. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1988.
·        Hodgson, Marshall G. S. Rethinking world history. Cambridge: Cambridge University Press. 2002.
·        K. Philip Hitti. History Of The Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008.
·         Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq.
·        Maryam, Siti. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: LESFI, 2004.
·        Mubarok, Jaih.  Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2005.
·        Nasution, Harun.  Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
·        Nurhakim Moh. Sejarah Dan Peradaban Islam. Malang: UMM Press, 2004.
·        SJ. Fadil. Pasang Surut Pereadaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN-Malang Press. 2008.
·        Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008.


[1]. Moh. Nurhakim, Sejarah Dan Peradaban Islam (Malang, UMM Press, 2004). Hlm. 132.
[2].  Ahmad Syafii Maarif, Sejarah pemikiran dan peradapan Islam,(Yogyakarta:Pustaka Book Publisher,2007). Hlm. 310.

[3].  Ibid. Hlm. 311.
[4]. Ibid. Hlm. 314.
[5] Philip K. Hitti, History of the Arabs,(Jakarta:PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002). Hlm. 905.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 92.
[7] Lois Ma’luf, Al-Munjid fi Lughah wa al- A’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq), hlm. 818.

[8] Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2004). Hlm. 130.
[9].  Moh.Nurhakim,Sejarah dan Peradapan Islam, (Malang:UMM Press,2004). Hlm. 135.
[10].  Ibid. Hlm.137.